Manifesto Kemerdekaan ke-80: Janji UUD yang Dikhianati

Selasa, 26 Agustus 2025 08:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
politikus
Iklan

***

Sudah 80 tahun Indonesia berdiri sebagai negara republik, 80 tahun bendera merah putih dikibarkan, 80 tahun juga rakyat dipanggil untuk merayakan sesuatu yang disebut kemerdekaan. Namun, mari kita bertanya dengan jujur “kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 agustus ini, benar benar kemerdekaan atau sekadar pesta tahunan yang menutupi luka?

Di pembukaan UUD 1945, para pendiri bangsa menggoreskan janji luhur. Empat pilar tujuan negara dicanangkan dengan Bahasa yang sederhana tapi sacral. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tempat darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mari kita lihat satu per satu, selama 80 tahun kemudian, bagaimana janji itu dijalankan atau justru dikhianati.  Melindungi segenap bangsa Indonesia. Begitu bunyi janji itu. Tapi siapa yang benar-benar terlindungi? Rakyat kecil dipaksa menghadapi harga pangan yang terus naik, konflik agraria yang tak kunjung usai, dan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Buruh yang bersuara di jalan dipukul mundur dengan gas air mata, mahasiswa yang menuntut keadilan dituduh sebagai pengacau. Sementara itu, pejabat dan oligarki mendapat perlindungan penuh, bahkan ketika tangan mereka tercelup dalam korupsi. Inikah yang dimaksud “melindungi”? Perlindungan yang hanya berlaku bagi mereka yang punya kuasa dan uang?

Memajukan kesejahteraan umum, Terdengar indah di buku teks, tapi terasa pahit di perut rakyat. Sembako terus naik, lapangan kerja semakin sempit, sementara generasi muda disuguhi janji-janji manis entrepreneurship yang tak pernah menyentuh realitas mereka.

Sumber daya alam kita dikeruk tanpa ampun untuk kepentingan segelintir orang. Batubara, nikel, emas semua ludes diangkut, tapi rakyat sekitar tambang tetap miskin, tetap hidup dalam debu dan limbah. Apakah ini kesejahteraan umum, atau kesejahteraan segelintir elite?

Mencerdaskan kehidupan bangsa. Adalah janji yang mestinya suci. Tapi hari ini, pendidikan telah menjadi komoditas. UKT melambung, biaya sekolah menengah makin tinggi, dan anak-anak miskin dipaksa menyerah pada nasib. Kampus dijalankan seperti korporasi, mahasiswa diperlakukan seperti konsumen, dan dosen didesak menjadi birokrat laporan. Apakah bangsa ini sungguh mencerdaskan rakyatnya, atau sekadar melahirkan tenaga kerja patuh bagi pasar global?

Indonesia sering berdiri gagah di forum internasional, bicara tentang perdamaian dan keadilan. Tapi di dalam negeri, hukum dibeli, suara rakyat ditekan, dan korupsi menjadi tradisi. Bagaimana kita bisa bicara soal “ketertiban dunia” ketika rumah sendiri penuh ketidakadilan?

Sudah 80 tahun Indonesia merdeka, tapi rakyat masih hidup dalam ketakutan. Takut harga naik, takut kehilangan kerja, takut bersuara karena bisa dikriminalisasi. Kemerdekaan seharusnya menghapus rasa takut. Tapi hari ini, ketakutan justru menjadi alat negara untuk mengendalikan rakyatnya.

Kemerdekaan seharusnya membuat rakyat berdaulat. Tapi hari ini, kedaulatan diserahkan pada modal asing dan elite lokal. Kemerdekaan bukan hadiah, bukan pesta, bukan simbol. Ia adalah tugas yang tak pernah selesai.

Tugas untuk terus melawan ketidakadilan. Tugas untuk terus mengingatkan mereka yang lupa. Tugas untuk terus menolak kompromi dengan kebusukan. Delapan puluh tahun bangsa ini berdiri. Tapi pertanyaannya: sampai kapan rakyat harus menunggu janji kemerdekaan ditepati? 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bisma Alfadito

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kampus Unpas dan Unisba Diserang Aparat

Selasa, 2 September 2025 14:39 WIB
img-content

Jika Indonesia Darurat Militer

Senin, 1 September 2025 12:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler